September 2011 ~ Go Green Go Etnopharmacy

Laman

Etnofarmasi

Etnofarmasi suku Tengger desa Ngadas kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang

Etnofarmasi

Etnofarmasi suku Tengger kecamatan Senduro kabupaten Lumajang

Industri Farmasi

Omzet Industri Farmasi Tumbuh 12%

Hutan Indonesia

Hutan Tropisku

Pemanasan global

Global Warming

Sabtu, 24 September 2011

Etnofarmasi suku Tengger kecamatan Tosari kabupaten Pasuruan

Akhirnya saya dapat mengepostkan salah satu penelitian Etnofarmasi yaitu penelitian Etnofarmasi suku Tengger di daerah Pasuruan. Sudah lama saya ingin mengepostkannya, tapi kesibukan yang menghambat saya. Semoga saja posting ini dapat menambah pengetahuan jumlah obat tradisional yang masih dikenal dan dibudidayakn oleh masyarakat Tengger khususnya di daerah Pasuruan.

Latar Belakang dan Tujuan dilakukannya penelitian etnofarmasi suku Tengger di daerah Pasuruan memiliki dasar yang sama dengan penelitian etnofarmasi di daerah Lumajang dan Malang yang sudah saya posting terlebih dahulu.

Grunggung
Dari hasil studi etnofarmasi tentang penggunaan tanaman obat pada suku Tengger di kecamatan Tosari kabupaten Pasuruan terinventarisasi beberapa jenis penyakit dengan resep tradisionalnya serta terdapat 69 tumbuhan, 6 jenis hewan, dan 2 bahan mineral. Cara Penggunaan bagian tumbuhan biasanya hanya diambil sarinya, dioleskan dan langsung dimakan. Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam system pengobatan pada umumnya adalah tumbuhan yang tumbuh dipekarangan dan dikembangkan dengan teknis budaya sederhana (asal tanam). Selain itu, ada beberapa jenis tumbuhan yang diambil langsung dari hutan sekitar wilayah Tengger. Bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan obat oleh Suku Tengger sebagian besar sudah diteliti dan mempunya khasiat sebagai obat, sehingga memiliki prospek untuk dikembangkan.

Diteliti oleh mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Jember : Wika Admaja S.Farm, dkk. 


LESTARILAH ALAM Q............. 

Flora dan Fauna di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Flora
Di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat kurang lebih 600 jenis flora, dan yang banyak dijumpai antara lain: mentigi (Vaccinium varingaefolium), akasia (Acacia decurrens), kemlandingan gunung (Albitzia lophanta), cemara gunung (Casuarina junghuniana) dan adas (Funiculum vulgare). Begitu juga di hutan Semeru bagian selatan terdapat 157 jenis anggrek seperti Malaxis purpureonervosa, Maleola witteana dan Liparis rhodochila. Di samping jenis-jenis di atas terdapat pula jenis tumbuhan pegunungan Tengger di antaranya pakis uling (Cyathea Tenggeriensis), putihan (Buddleja asiatica), senduro (Anaphalis sp.) dan anting-anting (Fuchsia magallanica),jamuju (Dacrycarpus imbricatus), cemara gunung (Casuarina sp.), eidelweis (Anaphalis javanica), berbagai jenis anggrek dan jenis rumput langka (Styphelia pungieus).

Hidayat dan Risna (2007) menemukan 13 jenis tumbuhan obat di resort Ranu Pani, Senduro dan Pronojiwo . Tiga jenis diantaranya termasuk kategori tumbuhan obat langka yaitu pronojiwo (Euchresta horsfieldii), pulosari (Alyxia reinwardtii) dan sintok (Cinnamomum sintoc) di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dan satu jenis tumbuhan obat langka yaitu purwoceng (Pimpinella pruatjan) ditemukan di perkebunan penduduk.

Fauna
Terdapat sekitar 137 jenis burung, 22 jenis mamalia dan 4 jenis reptilia di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dan sedikit jenis mamalia yang dapat dijumpai, di antaranya: babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura), budeng (Presbytis cristata) dan beberapa jenis mamalia kecil lainnya.

Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru antara lain luwak (Pardofelis marmorata), rusa (Cervus timorensis ), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kijang (Muntiacus muntjak ), ayam hutan merah (Gallus gallus), macan tutul (Panthera pardus ), ajag (Cuon alpinus ) dan berbagai jenis burung seperti alap-alap burung (Accipiter virgatus ), rangkong (Buceros rhinoceros silvestris), elang ular bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), dan elang bondol (Haliastur indus) yang hidup di Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo.

Penelitian oleh Suharto et al, (2005) di hutan Ireng-ireng wilayah konservasi Senduro Lumajang kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) selama dua bulan tentang kupu-kupu ditemukan sebanyak 31 species dan sub species yang berasal dari 21 genus dalam delapan famili. Satu species dilindungi undang-undang di Indonesia yaitu Troides Helena.

Kamis, 15 September 2011

Peran Obat Tradisional Makin Menguat




Back to nature, itulah gaya hidup yang dalam sepuluh tahun terakhir berkembang pesat di dunia barat, termasuk dalam mengatasi masalah kesehatan dan kebugaran tubuh. Sebagaimana kecenderungan di dunia barat lainnya, gaya hidup “kembali ke alam” tersebut, dengan cepat berkembang di Indonesia. Kebiasaan menggunakan tanaman obat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit yang biasanya dilakukan orang-orang desa, kini mulai diterapkan orang-orang di kota. Jamu yang semula dikonsumsi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah (kecuali di keratin), kini mulai dilirik masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas. Obat tradisional seperti music dangdut, kalau semula hanya menjadi konsumsi orang-orang desa, kalangan “arus bawah” dan pinggiran, kemudian mampu menjangkau segmen yang lebih atas dan lebih terpandang atau orang gedongan.

Dunia barat yang dipelopori ilmuwan-ilmuwan Amerika Serikat dan Jerman makin intensif dalam mengeksploitasi khasiat tanaman obat. Kemudian media cetak, televisi dan internet menanggapinya melalui pemberitaan dengan frekuesnu yang tinggi, mka terbentuklah kecenderungan baru berupa gaya hidup “kembali ke alam”.

Sebenarnya apa yang terjadi di barat tersebut terinspirasi oleh perkembangan di dunia timur, terutama di Cina, India, Jepang dan Korea yang sudah berabad-abad berupaya mengembangan tanaman obat. Kalau ditelaah, sebenarnya peradaban suku-suku dan kerajaan-kerajaan di Indonesia sejak seberapa abad yang lalu, sudah mengenai tanaman obat, namun dalam periode tertentu mengalami stagnasi, sehingga tertinggal jauh oleh perkembangan di beberapa Negara Asia Timur tersebut. Meskipun sampai saat ini masih tersisa resep-resep pengobatan tradisional berbasis tananam obat, namun hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.

Tidak dapat dipungkiri, kebijakan pemerintah mengenai kesehatan dan pendidikan (terutama kedokteran dan farmasi), terlalu berorientasi ke barat. Hal itu mengakibatkan pengobatan berbasis tanaman obat kurang mendapat dukungan dokter dan farmakolog. Padahal dengan memeprhatikan perkembangan terbaru, cukup ideal jika kurikulum pendidikan kedokteran dan farmasi mulai memasukan kajian mengenai tanaman obat.

Ketentuan bagi seorang lulusan kedokteran untuk dilengkapi dengan mengikuti pendidikan bidang pengobatan alternatif, sebagaimana diberlakukan pemerintah Cina, perlu dipertimbangkan penerpannya di Indonesia. Dengan demikian, selain menguasai pengobatan cara barat, seornag dokter mampu menawarkan pengobatan alternatif. Upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan seperti menerbitkan buku Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, diharapkan lebih menggugah para dokter untuk mulai berani me-resep-kan obat alami berbahan baku tanaman obat (fitofarmaka).

Belum banyak dokter yang menggunakan obat tradisional, yang menjadi alasan klasik ialah tidak adanya uji klinik menyangkut keamanan, khasiat dan dampaknya. Untuk memperoleh pengakuan dan dapat dipasarkan secara bebas atau dengan resep dokter, obat tradisional (dan non modern) harus melalui tahapan uji klinik, dengan waktu minimal lima tahun dan biaya mendekati setengah milyar rupiah. Setelah lulus uji klinik baru dapat diproduksi secara masal. Untuk menjangkau konsumen diperlukan promosi dan distribusi yang membutuhkan biaya sangat besar. Pada akhirnya biaya-biaya tersebut akan dibebankan pada harga obat yang mahal. Tak heran jika obat-obatan tradisional tertentu, yang diproduksi perusahaan berskala besar dan sering dipromosikan melalui media cetak dan elektronik, hanya terjangkau oleh sebagian kecil masyarakat.

Sampai saat ini obat tradisional belum sejajar dengan obat modern, dengan demikian belum ada obat tradisional yang secara rutin dan tetap dipakai dalam kesehatan formal, meskipun ada juga dokter yang dengan “malu-malu kucing” mulai melirik obat tradisional.

Menurut Prof. Dr.R.Muchtan Sujatno dari RSHS/staf pengajar Unpad (dalam Pikiran Rakyat, 24 September 2001), banyak dokter yang sudah mengakui keampuhan obat tradisional. Di antara dokter-dokter yang selalu memberi resep obat-obatan kimiawi kepada pasiennya, malah memberi obat tradisional pada anggota keluarganya. Mereka menilai obat tradisional lebih aman ketimbang obat kimiawi tapi efektifitasnya tidak kalah.

Namun ada juga dokter yang berani secara terbuka mengakui khasiat obat tradisional, Dr.Boyke Dian Nugraha, DpOG, MARS, ginekolog dan konsultan sex dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta (Dalam Koran Tempo, 23 Maret 2001), mengemukakan bahwa keunggulan bahan-bahan alami adalah aman dipakai, tanpa efek samping. “Makanya saya selalu ingin mengobati pasien saya dengan bahan-bahan alami”. Menurutnya terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung bahan kimia berisiko terkena penyakit, seperti kanker. Sejak dulu ia dan keluarganya selalu berusaha mengobati penyakit dengan bahan-bahan alami. Sebagai contoh, ketika kedua putrinya sakit demam berdarah, Boyke mencoba membantu mengobati dengan jus jambu klutuk, yang menurut beberapa penelitian dan pengalaman empiris mampu meredakan penyakit tersebut. “Ternyata memang terbukti ampuh, setelah minum jus jambu klutuk, kedua putri saya bisa segera keluar dari ruang ICU”, ungkap Boyke. Bahan alami (dalam bentuk food supplement) yang biasanya diresepkan Boyke antara lain madu, lidah buaya dan mengkudu.

Selain dihadang formalitas bidang kesehata dan uji klinik, perkembangan obat tradisional dihadapkan pada kompetisi bisnis yang sangat ketat. Bagaimanapun obat-obat modern dibuat oleh perusahaan farmasi berskala raksasa, baik perusahaan asing maupun dalam negeri, yang sudah sangat berpengalaman dan menguasai pasar dengan berbagai strateginya.

Terlepas dari aspek formalitas bidang kesehatan, uji klinik dan kompetisi bisnis, namun sebagian besar dari 10.880 apotek (data tahun 2008) dan ribuan toko obat berizin yang ada di Indonesia sudah memajang berbagai merk obat tradisional di etalasenya. Omset penjualan obat tradisional tahun 2000 yang lalu mencapai 1,5 trilyun rupiah. Selain itu, permintaan pasar dunia terhadap suplemen diet yang terbuat dari berbagai campuran bahan obat mencapai 40 milyar dollar AS, produk yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat mencapai 19,8 milyar dollar AS. Sedangkan Gabungan Pengusaha (GP) Jamu dan obat tradisional, memiliki target omzet penjualan jamu nasional pada tahun 2011, naik 10% menjadi Rp 10,12 triliun, dibanding realisasi omzet 2010 yang mencapai Rp 9,2 triliun.

Dibalik beragam kendala, ternyata banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman obat, sebagai bahan baku tanaman obat. Di Indonesia terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 940 spesies di antaranya berpotensi untuk dikembangkan mejadi tanaman obat. Hal itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara terkaya di dunia dalam cadangan plasma nuftah tanaman obat. Sedangkan yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan digunakan oleh industri obat tradisional baru mencapai 283 spesies tanaman.

Strategi pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional Indonesia (obat asli Indonesia) meliputi tiga segmen, yaitu jamu, sediaan ekstrak terstandar dan sediaan fitofarmaka (obat dari bahan alami tanaman obat). Bila target pemasaran tidak darahkan pada bidang pelayanan kesehatan formal (hanya menjangkau pasar nonformal), maka tidak ada ketentuan untuk melakukan uji klinik. Dengan demikian bagi obat tradisional yang melum menempuh uji klinik, tertutup kemungkinannya untuk digunakan di 1.523 rumah sakit (data tahun 2010), 8.854 Puskesmas (data tahun 2010) dan puluhan ribu klinik atau praktek dokter yang ada di Indonesia, namun tetap berpeluang untuk secara langsung digunakan oleh masyarakat.

Terhadap kebutuhan bidang kesehatannya, masyarakat menjadi punya banyak pilihan, bisa memilih obat modern yang umumnya dianggap mahal, tiga segmen obat tradisional, atau mencari tanaman obat sendiri di halaman rumah, di sawah, atau di hutan. Dalam hal ini pemahaman masyarakat mengenai khasiat tanaman obat tertentu perlu ditingkatkan. Upaya yang ditempuh Prof. Hembing Wijayakusumah dan pakar pengobatan tradisional lainnya, baik melalui buku, media cetak dan media elektronik perlu terus ditumbuh-kembangkan.

Ternyata ada tanaman yang berkhasiat untuk mengobati kanker, hepatitis, batu ginjal atau beragam penyakit lainnya. Sebagian pengalaman masyarakat menyangkut khasiat tanaman obat tertentu, kemudian diteliti lebih lanjut dan dibuktikan secara ilmiah, antara lain oleh Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) yang ada di UGM dan Unibraw. Ternyata alam menyediakan berbagai obat untuk beragam penyakit yang diderita manusia. Setiap penyakit tentu ada obatnya.

dituis oleh : Atep Afia (http://kesehatan.kompasiana.com)

Jumat, 09 September 2011

Omzet Industri Farmasi Tumbuh 12%

Jakarta: Omzet industri farmasi diperkirakan tembus Rp41,99 triliun pada tahun ini atau naik 12% dibandingkan dengan pencapaian 2010 sebesar Rp37,53% triliun, didorong oleh peningkatan konsumsi obat generik.



Berdasarkan informasi yang dirangkum Business Monitoring International (BMI), pasar farmasi nasional relative masih kecil dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Pasifik. Namun, BMI meyakini beberapa faktor seperti pertumbuhan pasar tahunan, yang dikombinasikan dengan peningkatan jumlah penduduk serta stabilitas politik dan ekonomi akan memberikan penerimaan operasi yang substansial bagi perusahaan farmasi di Indonesia. “Ini yang menjadikan perusahaan multinasional tertarik untuk berinvestasi di Indonesia,” tulis laporan BMI yang diperoleh Bisnis kemarin.

BMI memproyeksikan omzet industri farmasi nasional tahun ini mencapai Rp41,99 triliun pada 2011, meningkat 11,9% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu Rp37,35 triliun. “Farmasi akan menghasilkan omzet Rp41,99 triliun atau naik 11,9% dibandingkan dengan tahun lalu. Ada sedikit perubahan berdasarkan hasil omzet farmasi pada kuartal II/2011”. Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Indonesia Lutfi Mardiansyah mengatakan omzet farmasi nasional selama semester I memang tumbuh sekitar 11% dan diperkirakan tren akan berlanjut hingga akhir tahun.

Menurut dia, berdasarkan jenisnya, penjualan obat resep mengalami peningkatan lebih signifikan dibandingkan dengan obat bebas. Komposisi obat yang beredar dipasaran nasional saat ini cenderung berimbang antar obat bebas dan obat resep. “Pertumbuhan konsumsi obat resep (ethical) lebih tinggi, di atas 11%, dibandingkan dengan obat bebas yang tumbuh lebih rendah,” ujarnya. Obat bebas, lanjut Lutfi, sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan tingkat kepedulian terhadap obat bebas, yang antara lain bisa diperoleh dari iklan.

Dia mengatakan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan domestik bruto dan kecenderungan masyarakat untuk berbelanja obat, baik melalui resep dokter maupun pengobatan mandiri, menjadi faktor utama peningkatan konsumsi obat. “Kalau melihat total industri, sebenarnya pertumbuhan omzet ini juga menunjukkan meningkatnya kesadaran penduduk akan pentingnya obat yang lebih tinggi.”

Berdasarkan struktur industrinya, Lutfi mengatakan pertumbuhan lebih tinggi akan dialami oleh perusahaan farmasi nasional dibandingkan dengan perusahaan multinasional. Dia mengatakan pertumbuhan omzet perusahaan farmasi nasional mencapai 11% selama semester I/2011, sementara perusahaan farmasi multinasional hanya tumbuh 9% pada saar yang sama. “Padahal, melihat strukturnya, pasar farmasi nasional itu sudah 70% dikuasai oleh perusahaan lokal, sedangkan sisanya perusahaan multinasional. Tingkat pertumbuhan perusahaan farmasi nasional ternyata juga tumbuh lebih tinggi, yaitu di atas 11% pada semester I,” ungkapnya.

Lutfi mengatakan tingginya pertumbuhan omzet perusahaan farmasi nasional karena ditopang oleh penjualan obat generik yang menunjukkan tren semakin meningkat. “Mereka kan 100% memproduksi dan memasarkan produk obat generik bermerek. Tren penggunaan obat generik di masyarakat belakangan menguat sehingga sangat wajar jika perusahaan farmasi nasional menikmati pertumbuhan tinggi itu. Tren ke depan sampai akhir tahun rasanya tidak akan mengalami banyak perubahan.”

Dalam laporan tersebut, BMI juga mengungkapkan belanja masyarakat untuk perawatan kesehatan menyeluruh di Indonesia mencapai Rp152,95 triliun atau naik 14,7% dibandingkan dengan 2010 sekitar 133,37 triliun, Adapun omzet untuk perangkat kesehatan selama 2011 diperkirakan Rp3,08 triliun atau naik 11,7% dibandingkan dengan realisasi 2010 yang mencapai Rp2,76 triliun.

Sumber: Bisnis Indonesia   (http://www.ptphapros.co.id)

Relatif Kecil Jumlah Fitofarmaka Dan OHT Indonesia

JAKARTA : Di Indonesia, baru terdapat lima jenis tanaman yang masuk kategori fitofarmaka. Sedangkan, tanaman obat kategori Obat Herbal Terstandar (OHT) baru sekitar mencapai 17 jenis. Masih sekitar puluhan tanaman obat unggulan lainnya, yang masih harus diujicobakan.

“Badan Pengawas Obat dan Makanan sudah melansir sejak 2003 sekitar 9 tanaman obat siap menjadi fitofarmaka, dan pada 2005 sedikitnya 18 jenis tanaman obat unggulan yang siap menjadi fitofarmaka dan OHT,” ujar Dr. Rifatul Widjhati MSc. Apt, Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT di Jakarta, Senin (3/12).

Kelima jenis fitofarmaka yang ada saat ini, yaitu nodiar sebagai anti diarea, rheumaneer sebagai anti remautik, stimuno, sebagai peningkat daya tahan tubuh, tensigard agromed, anti hipertensi, serta x-gra untuk stamina lelaki. Sedangkan, 17 jenis obat tanaman yang masuk kategori obat terstandar, yaitu diabmeneer, diapet, kiranti (obat datang bulan), fitogaster, fitolac, lelap dan lain sebagainya.

Sedangkan sembilan jenis tanaman obat yang siap menjadi fitofarmaka, yaitu cabe jawa sebagai androgenik, temulawak untuk anti hiperfipedemia, Daun Jambu Biji, sebagai obat anti demam berdarah, buah mengkudu dan daun salam sebagai anti diabet, jati belanda untuk anti hiperfidemia, jahe merah sebagai anti neoplasma, serta rimpang kunyit untuk anti hiperfidemia.

Sementara 18 belas jenis tanaman obat unggulan lainnya yang siap menjadi fitofarmaka dan OHT yaitu brotowali (antimalaria antidiabetic), kuwalot (antimalaria), akar kucing (anti asam urat), sambiloto (antimalaria), johar (perlindungan hati), biji papaya (kesuburan), daging biji bagore (antimalaria), daun paliasa (perlindungan hati), makuto dewo (perlindungan hati), daun kepel (asam urat), akar senggugu (sesak napas), seledri (batu ginjal),

Gandarusa (KB lelaki), daun johar (anti malaria), mengkudu (dermatitis), mengkudu rimpang jahe (anti TBC), umbi lapis kucai (anti hipertensi), jati belanda & jambu biji (pelangsing). “Untuk OHT dan fitofarmaka, bahan bakunya atau ekstrak tanaman obatnya harus sudah distandarisasi isi kandungan senyawanya,” ujarnya.

Berbeda dengan jamu yang dimanfaatkan berdasarkan informasi khasiat secara turun temurun, serta belum diuji secara praklinis maupun klinis, OHT yaitu formula tanaman obat baik single maupun campuran yang sudah lolos uji praklinik (uji khasiat dan keamanan) pada hewan coba. Sedangkan, fitofarmaka, sudah lolos uji klinis pada manusia. “Biasanya diuji di beberapa rumah sakit atau layanan kesehatan,” ujarnya. (Lea)

Sumber: http://portal.ristek.go.id/news.php?page_mode=detail&id=689

Etnofarmasi suku Tengger desa Ngadas kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan, serta Setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan obat untuk mengobati penyakit dan diakui serta dirasakan manfaat tumbuhan obat ini dalam menyembuhkan penyakit yang diderita. Hal ini didukung dengan banyaknya Sumber Daya Alam yang tersedia.

Di seluruh wilayah Nusantara, berbagai suku asli yang hidup di dalam sekitar hutan telah memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan untuk memelihara kesehatan dan pengobatan berbagai macam penyakit. Pengetahuan lokal dan tradisional telah dimiliki oleh suku-suku di Indonesia untuk pemanfaatan tumbuhan obat, yaitu mulai dari spesies tumbuhan, bagian yang digunakan, cara pengobatan, sampai penyakit yang dapat disembuhkan.

Namun proses pewarisan pengetahuan lokal obat tradisional banyak dilakukan secara oral dan masuknya budaya modern ke masyarakat tradisional dikhawatirkan akan menyebabkan pengetahuan lokal akan mengalami erosi dan hilang. Hal ini mendorong upaya pelestarian pengetahuan lokal obat tradisional sedini mungkin.

Akhir-akhir ini penelitian tentang jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi dan diduga berpotensi sebagai obat gencar dilakukan. Sebagai langkah awal yang sangat membantu untuk mengetahui suatu tumbuhan berkhasiat obat adalah dari pengetahuan masyarakat tradisional secara turun menurun. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan etnofarmasi.

Salah satu suku yang masih teguh melaksanakan adat-istiadat adalah Suku Tengger yang tinggal di wilayah 4 kabupaten yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang.

Seperti pada kebanyakan suku-suku yang ada di Indonesia, pengetahuan lokal terutama obat tradisional Suku Tengger belum terdokumentasi dengan baik. Padahal, proses pewarisan pengetahuan lokal terutama melalui mulut serta masuknya budaya modern dapat menyebabkan pengetahuan tersebut dapat tererosi dan hilang apalagi Suku Tengger hidup ditengah masyarakat yang berkembang. Di Kabupaten Malang yang masih masuk dalam Desa Tengger hanya Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo. Untuk itu perlu dilakukan studi etnofaramasi pada desa tersebut untuk melestarikan pengetahuan tentang obat tradisional dan sebagai dasar untuk pengembangan obat baru.

Dari penelitian Etnofarmasi Suku Tengger Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang didapatkan data sebagai berikut :
1. Terinventarisasi 28 jenis penyakit pada Suku Tengger Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
2. Terinventarisasi 44 tumbuhan, 3 bahan yang berasal dari hewan, dan 3 bahan mineral yang digunakan sebagai obat tradisional pada Suku Tengger Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
3. Terinventarisasi 77 resep tradisional pada Suku Tengger Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
4. Bahan-bahan tersebut penggunaannya ada yang dipakai tunggal maupun dibuat ramuan dalam mengobati penyakit dan dilakukan sendiri terutama pada penyakit yang sifatnya ringan, namun ada juga yang dilakukan oleh orang lain.

Salah  satu tumbuhan di daerah Tengger : Sri Pandak


5. Didapatkan 10 tumbuhan yang dianggap paling penting untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam pada Suku Tengger Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang sebagai obat tradisional dilihat dari nilai Use Value dan nilai Informant Concencus Factor.




diteliti oleh mahasiswa Universitas Jember : Rizki Putra Teguh P. S. Farm.

Lestarilah Alam Q.......

Kamis, 08 September 2011

Etnofarmasi suku Tengger kecamatan Senduro kabupaten Lumajang

Hutan tropika Indonesia kaya akan tumbuhan obat, terdapat 20.000 jenis tumbuhan obat, 1.000 jenis yang sudah didata, dan 300 jenis dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Sampai tahun 2001 Laboratorium Konservasi Tumbuhan Fakultas Kehutanan IPB telah mendata dari berbagai laporan penelitian dan literatur, tidak kurang dari 2039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan Indonesia. Tumbuhan obat merupakan salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk pembuatan obat tradisional. Tumbuhan obat biasanya sudah digunakan secara tradisional oleh masyarakat berdasarkan pengalaman.

Bertambah majunya jaman akan berdampak pada modernisasi budaya yang dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan semakin merosotnya pengetahuan lokal suku-suku bangsa pada masing-masing daerah di Indonesia.

Sehingga perlu dilaksanakan upaya-upaya pelestarian pengetahuan tentang obat tradisional pada masyarakat di Indonesia. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budidaya sampai dengan pelestarian yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, diantaranya adalah taksonomi, etnobotani, etnofarmasi, dan bioteknologi.

Sejauh ini belum banyak penelitian mengenai pemanfaatan obat tradisional pada suku-suku di Indonesia. Salah satu suku yang terdapat di Indonesia adalah suku Tengger. Masyarakat suku Tengger khususnya pada kabupaten Lumajang masih memegang adat-istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Secara geografis Suku Tengger pada Kabupaten Lumajang terletak jauh dari pusat ritual kebudayaan masyarakat Suku Tengger, yang umumnya berada di sekitar kawah gunung Bromo. Hal ini dapat menyebabkan modernisasi dari peradaban luar yang cepat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian etnofarmasi dengan metode kualitatif dan kuantitatif di Suku Tengger Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, agar kelestarian pengetahuan maupun penggunaan obat tradisional tetap terjaga dan dapat digunakan sebagai referensi dasar untuk pengembangan obat baru.


Dringu : Salah satu tumbuhan khas Tengger


Pada penelitian Etnofarmasi yang dilakukan terhadap masyarakat lokal Suku Tengger Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang diperoleh data sebagai berikut :

1. Terinventarisasi 26 jenis penyakit dalam 8 kategori penyakit yang diobati dengan menggunakan obat tradisional pada Suku Tengger kecamatan Senduro kabupaten Lumajang.
2. Terinventarisasi 54 spesies tumbuhan, 2 spesies hewan, dan 3 bahan mineral yang digunakan sebagai obat tradisional pada Suku Tengger Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.
3. Terinventarisasi 82 resep tradisional yang dimanfaatkan untuk pengobatan pada Suku Tengger Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.
4. Bahan-bahan obat yang terdapat pada Suku Tengger Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang penggunaannya dapat dipakai secara tunggal maupun dibuat ramuan untuk mengobati suatu penyakit tertentu.
5. Terdapat 12 spesies tumbuhan untuk mengobati 6 jenis penyakit yang berpotensi untuk dilakukan uji bioaktivitas lebih mendalam dari Suku Tengger Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang.

diteliti oleh mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Jember : Weka Sidha Baghawan S.Farm


Lestarilah Alam Q.....

Rabu, 07 September 2011

Industri Obat yang Menggiurkan.....

Dari 40.000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Jumlah tumbuhan obat tersebut meliputi sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Puslitbangtri, 1992). Pemanfaatan bahan obat alami menjadi obat tradisional di Indonesia belumlah optimal untuk saat ini.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 246/Menkes/Per/V/1990 Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.obat tradisional ada 2 kategori yaitu lndustri Obat Tradisional (IOT) dan lndustri Kecil Obat Tradisional (IKOT).

lndustri Obat Tradisional (IOT) : adalah industri yang memproduksi obat traditional dengan total asset diatas Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan.

lndustri Kecil Obat Tradisional (IKOT): adalah industri obat tradisional dengan total asset tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan

Jumlah industri obat tradisional meningkat dari 165 buah pada tahun 1981 menjadi 427 pada tahun 1991. Pada tahun 2000, jumlahnya telah mencapai 985 perusahaan dengan nilai produk sekitar Rp 3 triliun. Pada tahun 2002 terdapat 118 IOT dan 917 IKOT. Pada tahun 2007 jumlah IOT bertambah menjadi 118 sedangkan IKOT berkurang menjadi 905. Selain IOT dan IKOT, pada tahun 2005 terdapat 872 perusahaan yang terdaftar di Badan POM sebagai industri yang menggunakan tanaman obat sebagai salah satu bahan bakunya dan 472 perusahaan modal asing yang memproduksi obat tradisional.

Berdasarkan data dari BPS tahun 2006, ekspor beberapa jenis tanaman obat, seperti kapolaga, adas, temulawak, jahe, kunyit dan salam mencapai 15.500 ton dengan nilai US$ 28.798.000. Seiring dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional di Indonesia dan tingginya penggunaan obat tradisional/jamu dan produk fitofarmaka di dalam maupun diluar negeri mengakibatkan tingginya permintaan terhadap penyediaan bahan baku obat dari tumbuhan yang berkualitas secara kontinyu.

Industri obat tradisional sangatlah menggiurkan. Kesempatan untuk terjun pada industi obat tradisional sangatlah besar, hal ini didukung dengan sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah dan belum tereksplorasi secara maksimal.. Juga didukung dengan peningkatan permintaan obat tradisional dimasyarakat. Pada tahun 1984 volume penjualan obat tradisional sebesar 970,6 ton, dan pada tahun 1998 terjadi peningkatan sekitar 10 kali lipat menjadi 9.273,4 ton. Pada tahun 2002 omset obat alami secara nasional sekitar satu triliun rupiah dan pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp 1,4 triliun, 2010 meningkat menjadi Rp 7,2 triliun.

Apakah anda ingin menjadi salah satu pemasok bahan baku atau membuat industri obat tradisonal baru???? Peluang terbuka lebar....Silahkan mencoba....

Lestarilah alamku!!!!!


Selasa, 06 September 2011

Tanaman yang berguna untuk Obat

Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tanaman obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola secara maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Indonesia meliputi 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia, 940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat yang telah digunakan (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia).

Berdasarkan hasil penelitian, dari sekian banyak jenis tanaman obat, baru 20-22% yang dibudidayakan. Sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui pengambilan langsung (eksplorasi) dari hutan. Potensi tanaman obat di Indonesia, termasuk tanaman obat kehutanan, apabila dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat dari segi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan. Negara berkembang mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan baku produk farmasi (38% untuk medical dan aromatic plants, 24% untuk vegetables saps dan extract,dan 11% untuk vegetables alkaloids).

Tahun 2005, Uni Eropa tercatat sebagai net importir rempah dan herbal dengan total impor 358,2 ribu ton dan terus meningkat 4% per tahun sejak tahun 2003. Sebanyak 60% dari total rempah dan herbal Uni Eropa berasal dari negara berkembang, namun bukan berasal dari Indonesia melainkan Cina, India, Maroko dan Turki. Ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk pengembangan ekspor tanaman obat ke pasar Uni Eropa (Litbang Kementrian Kehutanan).

Pemanfaatan tanaman atau tumbuhan obat telah berlangsung sejak jaman nenek moyang telah menghasilkan kearifan tersendiri. Kearifan tersebut muncul dalam bentuk budaya pemanfaatan nilai khasiat yang terkandung didalamnya.

Masih banyak tumbuhan atau tanaman obat yang belum diketahui khasiatnya secara klinis, tetapi sudah diketahui khasiatnya secara empiris. Untuk itu perlu perhatian dan kebijakan dari pemerintah maupun para intelektual untuk mengiventarisasi, membudidayakan, menguji khasiatnya, dan selatjutnya mengembangkan menjadi obat baru. Sehingga pemanfaatan tanaman atau tumbuhan obat dapat dilakukan secara optimal. Tanaman atau tumbuhan yang sudah dikembangkan menjadi obat baru selayaknya juga harus dibudidayakan untuk menghindari kepunahan.

Dengan kebijakan pemerintah, kebijakan para intelektual, perubahan cara pandang masyarakat terhadap tanaman obat tradisional, kemampuan riset dan teknologi yang ditingkatkan dan diintegrasikan, maka tidak mustahil Indonesia dapat menjadi pemasok terbesar obat tradisional didunia.

Lestarilah Alamku!!!!!




Indonesia's Forests in Brief

Indonesia is experiencing one of the highest rates of tropical forest loss in the world. 
  • Indonesia was still densely forested as recently as 1950. Forty percent of the forests existing in 1950 were cleared in the following 50 years. In round numbers, forest cover fell from 162 million ha to 98 million ha. 
  • The rate of forest loss is accelerating. On average, about 1 million ha per year were cleared in the 1980s, rising to about 1.7 million ha per year in the first part of the 1990s. Since 1996, deforestation appears to have increased to an average of 2 million ha per year.
  • Indonesia’s lowland tropical forests, the richest in timber resources and biodiversity, are most at risk. They have been almost entirely cleared in Sulawesi and are predicted to disappear in Sumatra by 2005 and Kalimantan by 2010 if current trends continue.
  • Nearly one half of Indonesia’s forests are fragmented by roads, other access routes, and such developments as plantations.
Deforestation in Indonesia is largely the result of a corrupt political and economic system that regarded natural resources, especially forests, as a source of revenue to be exploited for political ends and personal gain. 
  • Logging concessions covering more than half the country’s total forest area were awarded by former President Suharto, many of them to his relatives and political allies. Cronyism in the forestry sector left timber companies free to operate with little regard for long-term sustainability of production. 
  • As part of the effort to boost Indonesia’s export revenues, and to reward favored companies, at least 16 million ha of natural forest have been approved for conversion to industrial timber plantations or agricultural plantations. In many cases, conversion contradicted legal requirements that such plantations be established only on degraded land or on forest land already allocated for conversion.
  • Aggressive expansion of Indonesia’s pulp and paper industries over the past decade has created a level of demand for wood fiber that cannot currently be met by any sustainable domestic forest management regime.
  • Forest clearance by small-scale farmers is a significant but not dominant cause of deforestation.
Illegal logging has reached epidemic proportions as a result of Indonesia’s chronic structural imbalance between legal wood supply and demand. 
  • Illegal logging, by definition, is not accurately documented. But a former senior official of the Ministry of Forestry recently claimed that theft and illegal logging have destroyed an estimated 10 million ha of Indonesian forests.
  • Massive expansion in the plywood, pulp, and paper production sectors over the past two decades means that demand for wood fiber now exceeds legal supplies by 35-40 million cubic meters per year.
  • This gap between legal supplies of wood and demand is filled by illegal logging. Many wood processing industries openly acknowledge their dependence on illegally cut wood, which accounted for approximately 65 percent of total supply in 2000.
  • Legal logging is also conducted at an unsustainable level. Legal timber supplies from natural production forests declined from 17 million cubic meters in 1995 to under 8 million cubic meters in 2000, according to recent statistics from the Ministry of Forestry. The decline has been offset in part by timber obtained from forests cleared to make way for plantations. But this source appears to have peaked in 1997.
  • Industrial timber plantations have been widely promoted and subsidized as a means of supplying Indonesia’s booming demand for pulp and taking pressure off natural forests. In practice, millions of hectares of natural forest have been cleared to make way for plantations that, in 75 percent of cases, are never actually planted.
More than 20 million hectares of forest have been cleared since 1985, but the majority of this land has not been put to productive alternative uses.
  • Nearly 9 million ha of land, much of it natural forest, have been allocated for development as industrial timber plantations. This land has already been cleared or will be cleared soon. Yet only about 2 million ha have actually been planted with fast-growing species, mostly Acacia mangium, to produce pulpwood. The implication: 7 million ha of former forest land are lying idle.
  • Nearly 7 million ha of forest had been approved for conversion to estate crop plantations by the end of 1997, and this land has almost certainly been cleared. But the area actually converted to oil palm plantations since 1985 is about 2.6 million hectares, while new plantations of other estate crops probably account for another 1-1.5 million ha. The implication: 3 million ha of former forest land are lying idle.
  • No accurate estimates are available for the area of forest cleared by small-scale farmers since 1985, but a plausible estimate in 1990 suggested that shifting cultivators might be responsible for about 20 percent of forest loss. This would translate to clearance of about 4 million ha between 1985 and 1997.
  • The transmigration program that relocated people from densely populated Java to the outer islands was responsible for about 2 million ha of forest clearance between the 1960s and the program’s end in 1999. In addition, illegal migration and settlement by pioneer farmers at the margins of logging concessions, along roads, and even in national parks has greatly accelerated since 1997, but reliable national-scale estimates of forest clearance by forest pioneers have not been made.
  • Large-scale plantation owners have turned to the use of fire as a cheap and easy means of clearing forest for further planting. Deliberate fire-setting, in combination with unusually dry conditions caused by El NiƱo events, have led to uncontrolled wildfires of unprecedented extent and intensity. More than 5 million ha of forest burned in 1994 and another 4.6 million ha burned in 1997-98. Some of this land is regenerating as scrubby forest, some has been colonized by small-scale farmers, but there has been little systematic effort to restore forest cover or establish productive agriculture.

The Indonesian Government is facing mounting pressure domestically and internationally to take action, but progress is slow and not all policy reforms in process are necessarily good news for forests.
  • In the freer political atmosphere that followed the fall of President Suharto in 1998, environmental activists have demanded greater accountability from both the government and the private sector. Access to official information has improved, but efforts to prevent the worst abuses of corporate power have met with limited success.
  • Numerous forest-dependent communities, sensing the weakening of central power, have erupted violently against logging and plantation operations that they consider to be plundering their local resources. Longstanding problems of unclear land tenure rights are the root cause of many such conflicts. The government is no longer willing to protect corporate interests as it once did, but neither does it appear to have any coordinated plan for dealing with the problem.
  • Since 1999, Indonesia’s principal aid donors have coordinated their assistance through a consortium called the Consultative Group on Indonesia (CGI), chaired by the World Bank. Improved forest management has been declared a priority, and the Government of Indonesia has committed to a 12-point plan of policy reform. But continuing political turmoil seems likely to undermine these efforts. In April 2001, the then-Forestry Minister acknowledged many failures, saying that Indonesia should not have agreed to “such unrealistic targets.” As one example, the government imposed a moratorium on further conversion of natural forest in May 2000, but the ban is widely disregarded in the provinces.
  • Indonesia is moving rapidly toward a new system of “regional autonomy,” but the provincial and district governments that will benefit from decentralization are largely without the capacities or funds needed to govern effectively. Raising short-term revenue will be a top priority and, as a result, intensified exploitation of forest resources is already occurring in many regions.www.globalforestwatch.org
Sources
Department of Forestry and Estate Crops (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999)
Dirk Bryant, et. al., The Last Frontier Forests: Ecosystems and Economies on the Edge (Washington, DC: World Resources Institute, 1997).
World Resources Institute, et. al., World Resources 1998-99 (New York: Oxford University Press, 1998).
World Conservation Monitoring Centre. Online at:http.//www.wcmc.org.uk/forest/data/cdrom2/instabs.htm#Table2

Hutan Tropis Ku

Seratus tahun yang lalu Indonesia masih memiliki hutan melimpah, pohon-pohonnya masih menutupi 80-90% dari luas lahan total. Tutupan hutan total pada waktu itu diperkirakan sekitar 170 juta ha. Setiap tahun hutan diyakini mengalami degradai akibat kegiatan manusia. Indonesia kehilangan sekitar 17% hutannya pada periode 1985-1997. Rata-rata negara kehilangan sekitar 1 juta ha hutan setiap tahun pada tahun 1930-an, dan sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990-an.

Sejak tahun 1996, deforestasi tampaknya malah meningkat lagi sampai sekitar 2 juta ha pertahun (Holmes, 2000).

Menurut data Departemen Kehutanan penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).

Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Departemen Kehutanan, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:
1. Hutan tetap : 88,27 juta ha
2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha
3. Hutan lindung : 22,10 juta ha
4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha
5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha
6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha. 

Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan (28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha) (Dephut, 2005).

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2007 melakukan interpretasi citra Landsat7 ETM+, dengan menggunakan data pemotretan citra satelit tahun 2004 – 2006 yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005, menunjukan bahwa tutupan hutan pada seluruh region di Indonesia berkurang menjadi sekitar 83 juta hektar. Walaupun dengan catatan, masih ada sekitar 33 juta hektar yang belum dapat diidentifikasi sebagai hutan maupun non hutan karena areanya tertutup oleh awan.

Kondisi tutupan hutan di pulau Kalimantan dan Papua memiliki kecenderungan menurun dari tahun ke tahun, sedangkan di region lainnya tutupan hutan mengalami penurunan maupun peningkatan luas. Walaupun demikian ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penghitungan di atas, seperti besar-kecilnya data yang tidak dapat diolah karena tertutup awan serta perbedaan metode yang digunakan dalam melakukan analisis. Sejauh ini, data hasil interpretasi citra satelit tahun 2003 masih menjadi acuan penghitungan tutupan hutan dan menjadi sumber data resmi yang digunakan di Departemen Kehutanan. Hal ini tidak terlepas dari proses pembaruan data yang dilakukan, yaitu pada setiap tiga tahun sekali. Dengan kondisi data seperti ini maka tingkat akurasian data akan menjadi sebuah pertanyaan, apalagi dengan metode penghitungan yang menggunakan peta skala tinjau (1:250.000) dan menggunakan 23 jenis klasifikasi tutupan hutan dan penggunaan lahan.

Sumber data yang beragam serta perbedaan metode dan klasifikasi, akan menyulitkan penghitungan laju perubahan tutupan hutan setiap tahunnya. Sebagai contoh, analisis FAO (Food and Agricultural Organisation) mengatakan tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8% dari total luas lahan dan 46,5% dari total luas wilayah. fwi.or.id

Luas tutupan hutan yang sebenarnya saat ini, tidak satupun lembaga yang dapat menyatakannya secara tepat, konkrit, dapat dipercaya, dan tentu saja harus dinyatakan dengan metode pengukuran yang jelas.................Walaupun demikian kita dapat mengetahui bahwa setiap tahun hutan tropis Indonesia mengalami deforestasi yang semakin meningkat.

Apakah Waktu yang akan menjawab lenyapnya hutan kita????......


Sabtu, 03 September 2011

konsep 3R+R GoGreen

Ada 4 konsep Go Geen yang umum dikenal masyarakat, antara lain :
Reduce berarti kita mengurangi sampah yang kita hasilkan atau mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa merusak lingkungan . Kamu dapat melakukan Reduce dengan cara : kurangi belanja barang-barang yang anda yang tidak “terlalu” dibutuhkan seperti baju / celana baru, aksesoris - aksesoris, Kurangi penggunaan kertas tissue dengan menggantinya dengan sapu tangan karena akan dapat dipakai ulang dengan mencucinya, kurangi penggunaan kertas di kantor dengan melakukan print preview sebelum mencetak, biasakan membaca koran online, karena semua itu nanti ujung - ujungnya akan menjadi sampah.

Reuse sendiri berarti menggunakan kembali seperti baju lama kamu bisa digunakan kembali dengan merubah model atau nemambah kain dari baju-baju bekas yang akhirnya kelihatan menarik dan kamu bisa pakai kembali. atau baju lama kamu bisa kamu berikan kepaa orang lain yang membutuhkan

Recycle adalah mendaur ulang barang. Paling mudah adalah mendaur ulang sampah organik di rumah mu, misalnya bekas botol plastik air minum bisa kamu gunakan sebagai pot tanaman, atau kamu bisa juga mendaur ulang kertas bekas untuk digunakan sebagai bahan kerajinan. Pernahkan kamu melihat tempat yang berdampingan dengan tulisan Organik dan Anorganik ? tujuannya adalah sebisa mungkin kamu bisa memisahkan sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah organik adalah sampah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang berasal dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, rumah tangga atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik, misalnya sampah dari dapur, sayuran, kulit buah, dan daun. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/ hancur) secara alami. Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan melalui proses yang cukup lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol kaca, botol plastik, tas plastik, dan kaleng. Kertas, koran, dan karton merupakan pengecualian.Sampah Kerinmana sampah yang bisa di daur ulang atau tidak bisa di daur ulang.

Repair menjadikan 3R menjadi 4R. Repair memang banyak dilupakan oleh banyak orang, dan ini sebenarnya adalah hal yang terpenting di Indonesia. Repair adalah usaha perbaikan demi lingkungan. Contoh memperbaiki barang-barang yang rusak agar bisa kita gunakan kembali seperti sepatu jebol yang kita perbaiki karena dengan begitu kita tidak perlu membeli sepatu baru. Hal lain yang lebih besar adalah reboisasi atau perbaikan lahan kritis karena dengan ini kita bisa memiliki daerah resapan yang lebih besar dan menahan limpahan air yang bisa menyebabkan longsor. Penanaman bakau juga merupakan perbaikan lingkungan. Vulkanisir ban juga repair sehingga dapat kita reuse.

Go Green?????

Begitu banyak kerusakan alam di dunia. Rusaknya ekosistem alami yang merupakan tempat hidup hewan, tumbuhan, dan juga manusia ironisnya disebabkan dan diperparah oleh aktifitas manusia sendiri. Hal ini menyebabkan maraknya slogan ‘GO GREEN’ untuk menghentikan atau mengurangi kerusakan tersebut.
Go Green  adalah gerakan mengajak masyarakat (semua lapisan) untuk ikut berperan aktif sebagai subyek (sebagai pelaku) dalam mendukung inisiatif pelestarian dan penyelamatan lingkungan hidup. 

Gerakan Go Green sendiri sudah banyak dilakukan baik oleh pemerintah, perusahaan swasta, maupun masyarakat sendiri melalui media tulis maupun elektronik, seperti Gerakan Greenpeace Indonesia, Go Green Indonesia, gerakan Go Green pemerintah yang dapat dilihat dari pidato SBY di Pittsurgh Desember 2009 yang berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada 2020 dan gerakan bank pohon maupun gerakan 1 juta pohon yang dilakukan instansi pemerintah, sedangkan perusahaan swasta juga ikut andil dalam gerakan Go Green melalui pengembangan atau pembuatan produk ramah lingkungan dan penanaman pohon untuk penghijauan, dll.             
                   
Gerakan Go Green dapat dimulai dari lingkungan sekitar kita, seperti lingkungan rumah tinggal, komunitas atau perumahan sampai ke gedung yang sudah atau sedang kita bangun. Dengan memulai membiasakan Go Green di rumah, kita akan terbiasa pula melakukannya di sekolah, kampus dan kantor. Dengan gerakan Go Green, suatu saat kelak kita akan berteriak kepada anak cucu kita dan berucap “Kuberikan warisan berharga  yang pernah ada, yaitu bumi yang hijau dan lestari".
          Lakukanlah mulai saat ini...sebelum terlambat!