Back to nature, itulah gaya hidup yang dalam sepuluh tahun terakhir berkembang pesat di dunia barat, termasuk dalam mengatasi masalah kesehatan dan kebugaran tubuh. Sebagaimana kecenderungan di dunia barat lainnya, gaya hidup “kembali ke alam” tersebut, dengan cepat berkembang di Indonesia. Kebiasaan menggunakan tanaman obat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit yang biasanya dilakukan orang-orang desa, kini mulai diterapkan orang-orang di kota. Jamu yang semula dikonsumsi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah (kecuali di keratin), kini mulai dilirik masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas. Obat tradisional seperti music dangdut, kalau semula hanya menjadi konsumsi orang-orang desa, kalangan “arus bawah” dan pinggiran, kemudian mampu menjangkau segmen yang lebih atas dan lebih terpandang atau orang gedongan.
Dunia barat yang dipelopori ilmuwan-ilmuwan Amerika Serikat dan Jerman makin intensif dalam mengeksploitasi khasiat tanaman obat. Kemudian media cetak, televisi dan internet menanggapinya melalui pemberitaan dengan frekuesnu yang tinggi, mka terbentuklah kecenderungan baru berupa gaya hidup “kembali ke alam”.
Sebenarnya apa yang terjadi di barat tersebut terinspirasi oleh perkembangan di dunia timur, terutama di Cina, India, Jepang dan Korea yang sudah berabad-abad berupaya mengembangan tanaman obat. Kalau ditelaah, sebenarnya peradaban suku-suku dan kerajaan-kerajaan di Indonesia sejak seberapa abad yang lalu, sudah mengenai tanaman obat, namun dalam periode tertentu mengalami stagnasi, sehingga tertinggal jauh oleh perkembangan di beberapa Negara Asia Timur tersebut. Meskipun sampai saat ini masih tersisa resep-resep pengobatan tradisional berbasis tananam obat, namun hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Tidak dapat dipungkiri, kebijakan pemerintah mengenai kesehatan dan pendidikan (terutama kedokteran dan farmasi), terlalu berorientasi ke barat. Hal itu mengakibatkan pengobatan berbasis tanaman obat kurang mendapat dukungan dokter dan farmakolog. Padahal dengan memeprhatikan perkembangan terbaru, cukup ideal jika kurikulum pendidikan kedokteran dan farmasi mulai memasukan kajian mengenai tanaman obat.
Ketentuan bagi seorang lulusan kedokteran untuk dilengkapi dengan mengikuti pendidikan bidang pengobatan alternatif, sebagaimana diberlakukan pemerintah Cina, perlu dipertimbangkan penerpannya di Indonesia. Dengan demikian, selain menguasai pengobatan cara barat, seornag dokter mampu menawarkan pengobatan alternatif. Upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan seperti menerbitkan buku Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, diharapkan lebih menggugah para dokter untuk mulai berani me-resep-kan obat alami berbahan baku tanaman obat (fitofarmaka).
Belum banyak dokter yang menggunakan obat tradisional, yang menjadi alasan klasik ialah tidak adanya uji klinik menyangkut keamanan, khasiat dan dampaknya. Untuk memperoleh pengakuan dan dapat dipasarkan secara bebas atau dengan resep dokter, obat tradisional (dan non modern) harus melalui tahapan uji klinik, dengan waktu minimal lima tahun dan biaya mendekati setengah milyar rupiah. Setelah lulus uji klinik baru dapat diproduksi secara masal. Untuk menjangkau konsumen diperlukan promosi dan distribusi yang membutuhkan biaya sangat besar. Pada akhirnya biaya-biaya tersebut akan dibebankan pada harga obat yang mahal. Tak heran jika obat-obatan tradisional tertentu, yang diproduksi perusahaan berskala besar dan sering dipromosikan melalui media cetak dan elektronik, hanya terjangkau oleh sebagian kecil masyarakat.
Sampai saat ini obat tradisional belum sejajar dengan obat modern, dengan demikian belum ada obat tradisional yang secara rutin dan tetap dipakai dalam kesehatan formal, meskipun ada juga dokter yang dengan “malu-malu kucing” mulai melirik obat tradisional.
Menurut Prof. Dr.R.Muchtan Sujatno dari RSHS/staf pengajar Unpad (dalam Pikiran Rakyat, 24 September 2001), banyak dokter yang sudah mengakui keampuhan obat tradisional. Di antara dokter-dokter yang selalu memberi resep obat-obatan kimiawi kepada pasiennya, malah memberi obat tradisional pada anggota keluarganya. Mereka menilai obat tradisional lebih aman ketimbang obat kimiawi tapi efektifitasnya tidak kalah.
Namun ada juga dokter yang berani secara terbuka mengakui khasiat obat tradisional, Dr.Boyke Dian Nugraha, DpOG, MARS, ginekolog dan konsultan sex dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta (Dalam Koran Tempo, 23 Maret 2001), mengemukakan bahwa keunggulan bahan-bahan alami adalah aman dipakai, tanpa efek samping. “Makanya saya selalu ingin mengobati pasien saya dengan bahan-bahan alami”. Menurutnya terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung bahan kimia berisiko terkena penyakit, seperti kanker. Sejak dulu ia dan keluarganya selalu berusaha mengobati penyakit dengan bahan-bahan alami. Sebagai contoh, ketika kedua putrinya sakit demam berdarah, Boyke mencoba membantu mengobati dengan jus jambu klutuk, yang menurut beberapa penelitian dan pengalaman empiris mampu meredakan penyakit tersebut. “Ternyata memang terbukti ampuh, setelah minum jus jambu klutuk, kedua putri saya bisa segera keluar dari ruang ICU”, ungkap Boyke. Bahan alami (dalam bentuk food supplement) yang biasanya diresepkan Boyke antara lain madu, lidah buaya dan mengkudu.
Selain dihadang formalitas bidang kesehata dan uji klinik, perkembangan obat tradisional dihadapkan pada kompetisi bisnis yang sangat ketat. Bagaimanapun obat-obat modern dibuat oleh perusahaan farmasi berskala raksasa, baik perusahaan asing maupun dalam negeri, yang sudah sangat berpengalaman dan menguasai pasar dengan berbagai strateginya.
Terlepas dari aspek formalitas bidang kesehatan, uji klinik dan kompetisi bisnis, namun sebagian besar dari 10.880 apotek (data tahun 2008) dan ribuan toko obat berizin yang ada di Indonesia sudah memajang berbagai merk obat tradisional di etalasenya. Omset penjualan obat tradisional tahun 2000 yang lalu mencapai 1,5 trilyun rupiah. Selain itu, permintaan pasar dunia terhadap suplemen diet yang terbuat dari berbagai campuran bahan obat mencapai 40 milyar dollar AS, produk yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat mencapai 19,8 milyar dollar AS. Sedangkan Gabungan Pengusaha (GP) Jamu dan obat tradisional, memiliki target omzet penjualan jamu nasional pada tahun 2011, naik 10% menjadi Rp 10,12 triliun, dibanding realisasi omzet 2010 yang mencapai Rp 9,2 triliun.
Dibalik beragam kendala, ternyata banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman obat, sebagai bahan baku tanaman obat. Di Indonesia terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 940 spesies di antaranya berpotensi untuk dikembangkan mejadi tanaman obat. Hal itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara terkaya di dunia dalam cadangan plasma nuftah tanaman obat. Sedangkan yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan digunakan oleh industri obat tradisional baru mencapai 283 spesies tanaman.
Strategi pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional Indonesia (obat asli Indonesia) meliputi tiga segmen, yaitu jamu, sediaan ekstrak terstandar dan sediaan fitofarmaka (obat dari bahan alami tanaman obat). Bila target pemasaran tidak darahkan pada bidang pelayanan kesehatan formal (hanya menjangkau pasar nonformal), maka tidak ada ketentuan untuk melakukan uji klinik. Dengan demikian bagi obat tradisional yang melum menempuh uji klinik, tertutup kemungkinannya untuk digunakan di 1.523 rumah sakit (data tahun 2010), 8.854 Puskesmas (data tahun 2010) dan puluhan ribu klinik atau praktek dokter yang ada di Indonesia, namun tetap berpeluang untuk secara langsung digunakan oleh masyarakat.
Terhadap kebutuhan bidang kesehatannya, masyarakat menjadi punya banyak pilihan, bisa memilih obat modern yang umumnya dianggap mahal, tiga segmen obat tradisional, atau mencari tanaman obat sendiri di halaman rumah, di sawah, atau di hutan. Dalam hal ini pemahaman masyarakat mengenai khasiat tanaman obat tertentu perlu ditingkatkan. Upaya yang ditempuh Prof. Hembing Wijayakusumah dan pakar pengobatan tradisional lainnya, baik melalui buku, media cetak dan media elektronik perlu terus ditumbuh-kembangkan.
Ternyata ada tanaman yang berkhasiat untuk mengobati kanker, hepatitis, batu ginjal atau beragam penyakit lainnya. Sebagian pengalaman masyarakat menyangkut khasiat tanaman obat tertentu, kemudian diteliti lebih lanjut dan dibuktikan secara ilmiah, antara lain oleh Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) yang ada di UGM dan Unibraw. Ternyata alam menyediakan berbagai obat untuk beragam penyakit yang diderita manusia. Setiap penyakit tentu ada obatnya.
Dunia barat yang dipelopori ilmuwan-ilmuwan Amerika Serikat dan Jerman makin intensif dalam mengeksploitasi khasiat tanaman obat. Kemudian media cetak, televisi dan internet menanggapinya melalui pemberitaan dengan frekuesnu yang tinggi, mka terbentuklah kecenderungan baru berupa gaya hidup “kembali ke alam”.
Sebenarnya apa yang terjadi di barat tersebut terinspirasi oleh perkembangan di dunia timur, terutama di Cina, India, Jepang dan Korea yang sudah berabad-abad berupaya mengembangan tanaman obat. Kalau ditelaah, sebenarnya peradaban suku-suku dan kerajaan-kerajaan di Indonesia sejak seberapa abad yang lalu, sudah mengenai tanaman obat, namun dalam periode tertentu mengalami stagnasi, sehingga tertinggal jauh oleh perkembangan di beberapa Negara Asia Timur tersebut. Meskipun sampai saat ini masih tersisa resep-resep pengobatan tradisional berbasis tananam obat, namun hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Tidak dapat dipungkiri, kebijakan pemerintah mengenai kesehatan dan pendidikan (terutama kedokteran dan farmasi), terlalu berorientasi ke barat. Hal itu mengakibatkan pengobatan berbasis tanaman obat kurang mendapat dukungan dokter dan farmakolog. Padahal dengan memeprhatikan perkembangan terbaru, cukup ideal jika kurikulum pendidikan kedokteran dan farmasi mulai memasukan kajian mengenai tanaman obat.
Ketentuan bagi seorang lulusan kedokteran untuk dilengkapi dengan mengikuti pendidikan bidang pengobatan alternatif, sebagaimana diberlakukan pemerintah Cina, perlu dipertimbangkan penerpannya di Indonesia. Dengan demikian, selain menguasai pengobatan cara barat, seornag dokter mampu menawarkan pengobatan alternatif. Upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan seperti menerbitkan buku Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, diharapkan lebih menggugah para dokter untuk mulai berani me-resep-kan obat alami berbahan baku tanaman obat (fitofarmaka).
Belum banyak dokter yang menggunakan obat tradisional, yang menjadi alasan klasik ialah tidak adanya uji klinik menyangkut keamanan, khasiat dan dampaknya. Untuk memperoleh pengakuan dan dapat dipasarkan secara bebas atau dengan resep dokter, obat tradisional (dan non modern) harus melalui tahapan uji klinik, dengan waktu minimal lima tahun dan biaya mendekati setengah milyar rupiah. Setelah lulus uji klinik baru dapat diproduksi secara masal. Untuk menjangkau konsumen diperlukan promosi dan distribusi yang membutuhkan biaya sangat besar. Pada akhirnya biaya-biaya tersebut akan dibebankan pada harga obat yang mahal. Tak heran jika obat-obatan tradisional tertentu, yang diproduksi perusahaan berskala besar dan sering dipromosikan melalui media cetak dan elektronik, hanya terjangkau oleh sebagian kecil masyarakat.
Sampai saat ini obat tradisional belum sejajar dengan obat modern, dengan demikian belum ada obat tradisional yang secara rutin dan tetap dipakai dalam kesehatan formal, meskipun ada juga dokter yang dengan “malu-malu kucing” mulai melirik obat tradisional.
Menurut Prof. Dr.R.Muchtan Sujatno dari RSHS/staf pengajar Unpad (dalam Pikiran Rakyat, 24 September 2001), banyak dokter yang sudah mengakui keampuhan obat tradisional. Di antara dokter-dokter yang selalu memberi resep obat-obatan kimiawi kepada pasiennya, malah memberi obat tradisional pada anggota keluarganya. Mereka menilai obat tradisional lebih aman ketimbang obat kimiawi tapi efektifitasnya tidak kalah.
Namun ada juga dokter yang berani secara terbuka mengakui khasiat obat tradisional, Dr.Boyke Dian Nugraha, DpOG, MARS, ginekolog dan konsultan sex dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta (Dalam Koran Tempo, 23 Maret 2001), mengemukakan bahwa keunggulan bahan-bahan alami adalah aman dipakai, tanpa efek samping. “Makanya saya selalu ingin mengobati pasien saya dengan bahan-bahan alami”. Menurutnya terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung bahan kimia berisiko terkena penyakit, seperti kanker. Sejak dulu ia dan keluarganya selalu berusaha mengobati penyakit dengan bahan-bahan alami. Sebagai contoh, ketika kedua putrinya sakit demam berdarah, Boyke mencoba membantu mengobati dengan jus jambu klutuk, yang menurut beberapa penelitian dan pengalaman empiris mampu meredakan penyakit tersebut. “Ternyata memang terbukti ampuh, setelah minum jus jambu klutuk, kedua putri saya bisa segera keluar dari ruang ICU”, ungkap Boyke. Bahan alami (dalam bentuk food supplement) yang biasanya diresepkan Boyke antara lain madu, lidah buaya dan mengkudu.
Selain dihadang formalitas bidang kesehata dan uji klinik, perkembangan obat tradisional dihadapkan pada kompetisi bisnis yang sangat ketat. Bagaimanapun obat-obat modern dibuat oleh perusahaan farmasi berskala raksasa, baik perusahaan asing maupun dalam negeri, yang sudah sangat berpengalaman dan menguasai pasar dengan berbagai strateginya.
Terlepas dari aspek formalitas bidang kesehatan, uji klinik dan kompetisi bisnis, namun sebagian besar dari 10.880 apotek (data tahun 2008) dan ribuan toko obat berizin yang ada di Indonesia sudah memajang berbagai merk obat tradisional di etalasenya. Omset penjualan obat tradisional tahun 2000 yang lalu mencapai 1,5 trilyun rupiah. Selain itu, permintaan pasar dunia terhadap suplemen diet yang terbuat dari berbagai campuran bahan obat mencapai 40 milyar dollar AS, produk yang bahan bakunya berasal dari tanaman obat mencapai 19,8 milyar dollar AS. Sedangkan Gabungan Pengusaha (GP) Jamu dan obat tradisional, memiliki target omzet penjualan jamu nasional pada tahun 2011, naik 10% menjadi Rp 10,12 triliun, dibanding realisasi omzet 2010 yang mencapai Rp 9,2 triliun.
Dibalik beragam kendala, ternyata banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman obat, sebagai bahan baku tanaman obat. Di Indonesia terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan, 940 spesies di antaranya berpotensi untuk dikembangkan mejadi tanaman obat. Hal itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara terkaya di dunia dalam cadangan plasma nuftah tanaman obat. Sedangkan yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan digunakan oleh industri obat tradisional baru mencapai 283 spesies tanaman.
Strategi pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional Indonesia (obat asli Indonesia) meliputi tiga segmen, yaitu jamu, sediaan ekstrak terstandar dan sediaan fitofarmaka (obat dari bahan alami tanaman obat). Bila target pemasaran tidak darahkan pada bidang pelayanan kesehatan formal (hanya menjangkau pasar nonformal), maka tidak ada ketentuan untuk melakukan uji klinik. Dengan demikian bagi obat tradisional yang melum menempuh uji klinik, tertutup kemungkinannya untuk digunakan di 1.523 rumah sakit (data tahun 2010), 8.854 Puskesmas (data tahun 2010) dan puluhan ribu klinik atau praktek dokter yang ada di Indonesia, namun tetap berpeluang untuk secara langsung digunakan oleh masyarakat.
Terhadap kebutuhan bidang kesehatannya, masyarakat menjadi punya banyak pilihan, bisa memilih obat modern yang umumnya dianggap mahal, tiga segmen obat tradisional, atau mencari tanaman obat sendiri di halaman rumah, di sawah, atau di hutan. Dalam hal ini pemahaman masyarakat mengenai khasiat tanaman obat tertentu perlu ditingkatkan. Upaya yang ditempuh Prof. Hembing Wijayakusumah dan pakar pengobatan tradisional lainnya, baik melalui buku, media cetak dan media elektronik perlu terus ditumbuh-kembangkan.
Ternyata ada tanaman yang berkhasiat untuk mengobati kanker, hepatitis, batu ginjal atau beragam penyakit lainnya. Sebagian pengalaman masyarakat menyangkut khasiat tanaman obat tertentu, kemudian diteliti lebih lanjut dan dibuktikan secara ilmiah, antara lain oleh Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT) yang ada di UGM dan Unibraw. Ternyata alam menyediakan berbagai obat untuk beragam penyakit yang diderita manusia. Setiap penyakit tentu ada obatnya.
dituis oleh : Atep Afia (http://kesehatan.kompasiana.com)
0 komentar:
Posting Komentar